Umur saya baru sepuluh tahun saat kakek saya meninggalkan dunia untuk selamanya. Saat meninggal, engkong, begitu biasa saya memanggilnya (seharusnya mbah kakung, tapi gara2 saya sepupu saya yang memanggilnya engkong, semua jadi tertular memanggil beliau demikian), baru saja 11 hari berumur 61 tahun.
Beliau berumur 50 tahun saat melantunkan adzan ke telinga saya.
Engkong meninggal karena kanker. Kanker paru-paru lebih tepatnya. Penyakit yang menggerogoti tubuhnya sampai kurus kering tak berdaya, hanya dalam waktu satu setengah tahun semenjak dokter mendiagnosa engkong. Bukan hanya satu dokter, banyak dokter yang kami datangi. Dan semua menjatuhkan vonis yang sama. Engkong sakit. Dan bukan sakit biasa yang akan sembuh beberapa hari setelah minum obat generik dari apotik.
Engkong akan, dan harus bertempur. Dan kami hanya bisa disini dan mendukungnya.
Saya yang saat itu baru berumur 10 tahun, hanya bisa mendengar bisik-bisik tentang engkong. Awalnya semua menyangka hanya tumor biasa, hilang hanya dengan operasi. Setelah prosedur selesai, semua bernafas lega. Kemudian timbul lagi. Kali ini lebih parah. Berkali-kali hingga keluarlah kata-kata itu dari dokter. Kanker. Yang menakutkan karena hanya berarti satu hal: sebentar lagi engkong akan pergi. Dan tidak akan pernah kembali.
Mulailah hari-hari itu. Hari dimana engkong harus bolak-balik kemoterapi, ditambah berbagai macam obat yang harus engkong telan setiap harinya. Pengobatan medis, alternatif, semua pernah engkong lakukan. Saya masih ingat wajah engkong saat tubuhnya mulai bereaksi terhadap obat-obatan, saat tidak ada satu helai rambutpun di tubuhnya. Semuanya rontok, saking kerasnya obat-obatan yang harus ditelan setiap harinya. Terus begitu setiap hari.
Lalu semua mulai jelas. Engkong semakin kurus, kulitnya semakin keriput, semakin sulit bernafas, dan sulit bergerak. Obat-obatan tidak lagi bisa membantunya. Teman setianya adalah kursi roda dan tabung oksigen. Engkong menikmati udara-udara terakhir yang bisa ia hirup. Semuanya terjadi di depan mata kami. Semuanya. Jelas, bahkan di mataku yang baru berumur sepuluh tahun.
Dan berkumpullah kami semua, berusaha tegar menghadapi hari itu. Hari beliau akan pergi.
Pikiran naif saya waktu itu berkata, engkong pasti akan sembuh. Engkong akan bisa berjalan-jalan lagi, makan cah kangkung favorit beliau lagi di Pagoda, atau bahkan menjemput saya pulang dari sekolah.
Tapi ternyata hari itu datang, dan mimpi-mimpi saya sirna.
Katanya, engkong tersenyum dalam tidur panjangnya. Bengkak di tangannya hilang, hanya saja sekarang tubuhnya dingin. Jauh lebih dingin dari saat terakhir saya menemaninya dan menyentuhnya tangannya. Saya tidak sempat mengucapkan selamat tinggal, atau betapa hari-hari saya akan terasa berbeda tanpanya. Kalau akan ada bagian dari diri saya yang hilang saat beliau pergi.
Kalau saat beliau pergi, akan ada seseorang yang kehilangan sebagian dari jiwanya, sosok yang ia kagumi dari dalam hati, tempatnya mengadu, tempatnya berkeluh kesah.
Ibu. Anak sulung kesayangannya.
Dan saya adalah anak sulung ibu saya. Pengagum terbesar ibu.
Jadi saat saya melihat saat itu, saat engkong belum meninggal, ibu yang duduk di tepian tempat tidurnya dan menangis, mendengar kabar kalau engkong mulai tidak sadar, hati saya hancur.
Karena saat engkong pergi, ibu saya hancur. Dan kalau ibu hancur, saya pun hancur.
Dan saya yang berumur sepuluh tahun hanya dapat menyaksikan, terdiam dan berdoa.
Hari itu tiba, dan engkong akhirnya pergi dengan tenang. Meninggalkan saya, ibu, kami. Beliau mungkin tidak akan bisa lagi terlihat, tersentuh. Tapi beliau tidak akan pernah hilang dari hidup kami.
Satu kenangan saya dengan engkong adalah ketika saya, salah seorang sepupu saya, dan engkong naik sepeda pagi-pagi di pangandaran untuk melihat matahari terbit. Kami naik sepeda bertiga, sepupu saya didepan, saya dibonceng di belakang. Engkong yang mengayuh sepeda.
Hari itu kami tidak melihat matahari terbit, karena ternyata engkong tidak tahu tempat yang tepat untuk melihatnya. Kami hanya berkeliling. Tapi kenangan itu, dan kenangan yang lain, yang jelas maupun yang samar, tidak akan pernah hilang dari diri saya. Saya bawa sampai kemanapun.
Engkong tidak pernah melihat saya lulus sekolah, tidak akan pernah melihat saya nantinya menikah. Tapi engkong akan selalu ada.
Dan tidak akan hilang.
Dan saya akan jadi satu-satunya cucu perempuan yang mengenal beliau luar dalam, sejak saya dilahirkan.
Chika Anindyah Hidayat
“Untuk ibu. Cause if you’re hurting, it’s aching for me too….”
0 komentar:
Posting Komentar