Hari itu, Sabtu 28 Agustus 2010. Awan hitam masih menggelayut manja di pelataran langit. Seakan memahami bahwa terik tak akan cukup indah di siang hari itu. Perempuan itu tertatih menghampiri sesosok tubuh pria yang ditutupi sehelai kain tradisional. Perlahan dibukanya kain yang menutupi bagian wajah pria tua itu. Matanya nanar menatapi wajah pria yang cinta saja tak cukup untuk mendefinisikan perasaannya pada pria yang ia panggil ‘kakek’ itu. Putih, kaku, namun seberkas cahaya dan seulas senyum samar membuat hatinya agak berlega hati. Ia kembali menutup kain itu, entah apakah ia menyadari dengan sungguh hati bahwa itulah kali terakhir ia menatap wajah pria yang telah menemani hidupnya hampir 22 tahun lamanya.
Jam berganti jam, perlahan ia mulai semakin menyadari apa yang terjadi padanya. Tatkala ia menyalakan TV, tak ada sosok yang menemaninya menonton, aktivitas yang biasa mereka lakukan bersama di waktu senggang. Ketika hari Minggu datang, tak ada yang dijemputnya untuk pergi bersama ke gereja. Saat pagi menjelang tak ada lagi sosok yang berdiri di pagar belakang rumah menunggu pedagang sarapan datang. Tak ada, tak ada lagi yang mendengarkan cerita-ceritanya tentang ini dan itu. Tak ada suara batuk yang dulu sering membuatnya merasa terganggu. Tak ada suara tawa yang terkekeh renyah lagi. Tak ada, dan semakin lama semakin banyak “tak ada” yang ia sadari.
Semua sudut ruangan adalah kenangan bersamanya. Setiap jam dalam semua hari dipenuhi adanya ia dan tingkahnya. Dan setiap kali menyadari itu, perlahan sebentuk buliran bening mengalir lembut di pipinya. Buliran bening itu kemudian ditingkahi beribu penyesalannya. Sesal akan setiap kemarahan, kekesalan, atau lakunya yang lain yang mungkin menyakiti pria itu. Sesal itu kemudian dilanjutkan dengan jutaan jika… andai… kalau saja…. Namun ia tahu dan ia berusaha menyadarkan dirinya bahwa ia telah ikhlas akan kepergian pria itu, dan yakin bahwa pria itupun telah mengikhlaskan dan memaafkan kealpaannya.
Di sudut yang lain, keluarga besarnya tak kalah kehilangan. Sama sepertinya, ribuan sesal menyesaki mereka. Sesal akan bakti yang rasanya tak mencukupi walau memang tak akan pernah mumpuni. Sesal karena tak sempat meminta maaf secara langsung. Sesal akan ini dan itu. Dan jutaan andai pun lagi-lagi menyergap. Namun mereka pun sadar bahwa segalanya adalah kehendak-Nya, dan hal yang tersisa bagi mereka adalah ikhlas, doa, dan usaha mengemban segala amanat.
Dan seisi rumah itu sesungguhnya disesaki oleh rasa kehilangan, yang juga menyempilkan rasa sesal.
Mungkin itulah sebuah makna kehilangan. Kehilangan yang seringkali diikuti oleh penyesalan. Hal yang membuat perempuan itu berpikir untuk melakukan hal-hal yang ingin dan harus dia lakukan sebelum dia kehilangan lagi orang-orang yang dicintai. Walau menyadari tak pernah ada yang sempurna, minimal perempuan itu ingin sering-sering berkata maaf dan ingin sering-sering menyisipkan kalimat bahwa dia sungguh mencintai mereka dan kalian semua yang senantiasa mengisi hari-harinya selama ini.
Agustus 2010
Wini Intan
0 komentar:
Posting Komentar