Kamis, 06 Januari 2011

Hilangnya Masa Remaja, Bagimu..

Sekedar membagi curahan hati, hampir dua tahun lalu. Enjoy. :) 

Sunday, February 10th 2008

Kenapa kita selalu lupa bersyukur atas apa yang kita terima hari ini, yang saya tau dan saya rasa, kita terlalu sering melihat 'ke atas' sehingga kita lupa atas segala kebahagiaan yang tentunya 'mahal' dan belum tentu bisa kita dapat dua kali.

Sore kemarin, waktu saya lagi asyik nonton Insert dan mengunyah Rambutan nan manis, seseorang menelpon saya. Kaget, cause lately saya jarang menerima telepon.

Di seberang, kedengaran seorang cewek dengan logat Sunda yang kental memanggil saya,
"Chrisna? Ini Emma, temen SD, masih inget tidak?"
Kontan saya surprised. Karena sudah lama banget saya tidak ngobrol dengan ini orang kira-kira.. 6-7 taun yang lalu! Dan kalau tidak salah kelas 5 SD dia pindah ke TasikMalaya, setelah itu saya benar-benar lose contact dengan sobat saya itu.

Her voice was so healthy, I guess. Dia bertanya kuliah di mana saya, dan saya jawab di UNPAD. Dia langsung bilang..'Ih hebat, meni gaya..'

Dalam hati saya bilang, 'di mana letak gaya nya? Kampus di jatinangor dan tiap hari harus bertahan dengan segala kesulitan finansial anak kos?!' pikir saya dalam hati.

Selintas saya ingat, Emma adalah temen saya di SD yang otaknya paling pinter di kelas. Dia saingan saya ngedapetin rangking pertama dan teman curhat saya dalam segala kondisi, termasuk partner saya waktu saya ketiban sial kena penyakit demam berdarah untuk pertama kalinya, (cuma saya keluar dari rumah sakit lebih lama).
Terakhir saya liat Emma itu totally a perfect-elementary-school-kid. Lha.. iya. Kulitnya putih, bibirnya tipis, mukanya mirip Suzanna (tentunya waktu paku nya masih nancleb di kepala :p bukan bentuk yang menakutkan), sipit-sipit gimana gitu.. pokonya overall she's a great student. Belum lagi dia pinter dan jadi tempat saya minta bukunya untuk menyalin catetan-catetan yang ketinggalan.
Sampai akhirnya di telepon dia berkata pada saya waktu saya tanya, "Emma apa kabar sekarang?"
"Oh, baik. Sayah mah udah merit, Chris" (tentu dengan logat sunda yang amat kental).
Oh ya? Wow.. saya pikir, yeah I've heard that she got married, but it still makes me pretty shock. Terus dia melanjutkan, "Keluarga saya mah berantakan, Chris."

'God. Is it a real Emma?' Saya pikir.
Tidak menyangka bahwa dia bisa jadi seperti ini.
Well, somebody told me that after she moved, memang keluarganya kacau. Karena, ayah (tiri) nya entah kemana dan ibu nya tidak mampu untuk membiayai anaknya itu. Sampai akhirnya dia dan dua kakak nya itu harus married dan menjalani hidupnya, bekerja untuk membiayai  hidupnya masing-masing.

"Kakak-kakak kamu udah pada nikah belum? Gimana bang Tezar?" dia tanya lagi.
"Oh belum, mereka belum pada nikah." jawab saya.
Dhooonnnggg.. gila, semakin shock saya.

Saya tidak menyangka bahwa di saat segala mimpi-mimpi saya belum saya raih, ada seseorang di luar sana yang used to be really close to me before, yang sekarang udah kehilangan mimpi-mimpinya itu. Waktu SD dulu, saya inget bahwa Emma ingin jadi dokter. Mungkin, kalau berbagai masalah  tidak menimpa keluarganya, dan dengan capability nya, dia bisa aja masuk FK UNPAD, even more. Tapi mimpi-mimpi itu terbang.. dengan segala tanggung jawab rumah tangga yang harus dia emban. Dan saya jadi semakin 'dipermalukan' karena selama ini, saya yang punya kesempatan lebih untuk kuliah, tidak pernah saya jalani dengan sungguh-sungguh, malah saya selalu mengeluh dengan segala yang saya terima. What's wrong being me? Sepertinya setiap masalah yang saya rasakan, dari banyaknya tugas, pacaran, rumah, aahh..! Semua itu tidak ada yang sebanding dengan kesulitan Emma yang seumur saya harus menanggung kesulitan keluarganya dengan married untuk mendapatkan nafkah..

Dan ini makna hilang yang membuat saya sadar, bahwa banyak waktu yang disia-siakan.
Ini benar-benar membuat saya sadar.

Sampai  akhirnya saya bertanya. "Emma udah punya anak?"
"udah.." dia jawab, "Umurnya 2 setengah taun.."

GleekkkK!!! Tenggorokan saya tercekat!
 Oh My God! This sweet girl?

Yang saya inget dulu, Emma suka pake cincin plastik kelinci lucu di jarinya, Emma yang jepitan-jepitan lucu di rambutnya sering bikin saya sirik, Emma yang senyumnya bikin guru-guru memasang cita-cita yang tinggi untuk anak ini. Sekarang dia yang menginjak 19 taun, punya anak yang umurnya 2,5 taun dan suami yang just kerja di BEC katanya..

I just cant speak more.

Di saat kita lagi nakal-nakalnya SMA, di saat kita lagi senang-senangnya mengantri di bioskop buat nonton bareng, di saat kita lagi jadi jurig friendster, atau lagi giat-giatnya nonton pensi dan hangout dengan teman-teman, teman saya yang satu ini sedang bersusah payah mempertahankan hidupnya dan..

Hmm, pregnancy? Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seumur itu melahirkan bayi dan menanggung semua kesulitan jadi seorang ibu. Dan itu benar-benar membuat saya sadar bahwa saya harus bersyukur dan berhenti merasa menderita atas apa yang sekarang terjadi dengan hidup saya. Itu sama sekali berkali-kali lipat jauh lebih kecil dari pada cobaan yang sobat saya derita di luar sana hanya untuk bertahan hidup.

Hilangnya waktu.

"Main ke sini atuh sekali-sekali, Chris. Saya di Bale Endah sekarang.." katanya.
"Oh iya deh nanti kapan-kapan, Emma punya nomor telepon?" jawab saya.
"Aduh gak punya.."

Akhirnya pembicaraan singkat di telepon itu selesai, dan totally, menampar saya  dengan keras.
Apa lagi yang saya butuh sekarang, hah? Haruskah saya selalu merasa kekurangan atas semua kelebihan dan kesempatan yang saya rasakan saat sobat saya tidak rasakan?

Bersyukurlah atas segala yang kita terima, karena semua ini justru membuat kita sadar kalau derita adalah hal yang harus disyukuri untuk kesempurnaan hidup kita. Kita belum merasakan hilangnya..

Waktu yang berharga, dan kesempatan yang berharga pula..

Dan sahabat saya, Emma, menjadi guru terbaik untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.




Chrisna Nuraisyiah,
2008. Edited on 2011.

0 komentar:

Posting Komentar