Jumat, 07 Januari 2011

Saat Waktu dan Mimpi Harus "Dibuang"

Lost time is never found again. (Benjamin Franklin)

Satu dialog tentang waktu 
A : Apa yang kekal dalam kehidupan kita ini ?
B : Waktu. Waktu itu kekal. Karena waktu selalu ada dalam dimensi kehidupan manusia.
A : Ya, benar. Tapi apakah setiap detik, menit, jam, hari, bulan yang kamu lalui adalah sama dalam setiap rentang hidupmu ?
B : Tidak. Setiap unit satuan waktu itu selalu berbeda karena waktu selalu bergulir.
A : Ya. Waktu itu adalah kekal tapi sekali kamu kehilangan waktu kamu tidak bisa meraihnya kembali. Kamu memiliki waktu di masa depan, tetapi waktu di masa ini dan di masa lalu tidak akan pernah sama dengan waktu di masa depan. Setiap moment yang terjadi di masa sekarang dan di masa lalu tidak akan sama dengan moment yang terjadi di masa mendatang.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kehilangan waktu ? Saya mengalaminya, kamu mengalaminya, semua kita mengalaminya. Saya benar merasa tolol  telah lalai dan membuang waktu saya. Waktu itu berharga. Ya saya tahu. Di bangku SD saya diajarkan kata-kata mutiara klasik “Waktu adalah uang”. Ya benar waktu adalah uang. Tapi buat saya waktu bukan uang. Waktu adalah mimpi, kesempatan meraih mimpi, mengukir mimpi. Membuang waktu sama halnya dengan membuang kesempatan meraih mimpi.

Berbicara tentang mimpi, saya dahulu pernah bermimpi menjadi seorang engineer. Kalo boleh dikatakan, sejak saya baru bisa mengucap kata, ketika saya ditanya tentang cita-cita saya mengatakan “Saya ingin jadi insinyur”. Ya itu saya ucapkan ketika saya berusia 5 tahun. 13 tahun kedepannya saya masih berucap hal yang sama “Saya ingin jadi insiyur”. Begitu besarnya keinginan saya untuk bisa diterima sebagai mahasiswa teknik. Saya benar-benar berusaha keras. Tidak satu waktupun saya sia-siakan. Belajar dan selalu belajar. Bahkan saya tidak tidur selama 2 hari karena terus belajar untuk mempersiapkan diri saya menghadapi ujian. Tuhanpun bekerjasama dengan saya. Saya pun lulus di PTN dan diterima sebagai mahasiswa Teknik. Langkah saya pun bergerak maju untuk mewujudkan mimpi menjadi engineer.

Namun karena satu ketololan saya memutuskan untuk keluar dari fakultas itu. Dan saya pun ada di fakultas psikologi. Hingga saat ini saya menghabiskan seluruh waktu saya di bidang ini. Menghabiskan waktu untuk belajar, menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas, menghabiskan waktu untuk kuliah, dan juga menghabiskan waktu untuk  sekedar melupakan diri bahwa saat ini saya ada disini, di psikologi. Menjadi psikolog bukan cita-cita saya. Bahkan terpikirkan saja tidak. Tapi ya ini. Saya sudah membuat ketololan dan saya harus bertanggung jawab atas semua hal yang saya lakukan. Dan untuk sekedar “excuse” dari kebodohan yang telah saya lakukan, saya pun membuat suatu keyakinan diri bahwa “Psikolog itu hebat dan saya harus bisa menjadi seorang psikolog yang berguna untuk orang sekitar saya.” Sekilas itu rasanya hanya suatu kalimat harapan yang klise.. Tapi ya memang begitulah. Tidak ada keinginan yang lebih konkrit selain itu. Apakah saat ini saya menyesal. Jawabannya iya. Apakah saya selamanya akan terus menyesal. Jawabannya sudah tentu tidak. Hingga saat ini yang terus saya lakukan adalah mencari satu alasan kuat mengapa saya ada di psikologi dan menghabiskan waktu saya mempelajari psikologi. Menurut saya ini adalah hal penting. Apabila saya menemukan alasan ini maka saya yakin saya benar bisa menjalani “mimpi baru” saya ini dan tidak setengah hati dalam mendalaminya.

Saya sedikit curang dalam menjalani “mimpi baru” saya ini. Saya mencuri-curi kesempatan untuk tetap merasakan feel seorang engineer.  Tapi itu hanya sementara saja. Karena otak saya sudah begitu “abstrak” dan “ruwet” dengan psikologi. 

Dan sekarang saya merasa saya membuang semua waktu yang saya miliki. 24 jam dalam 26 bulan terkahir. Dan itu berarti saya telah membuang mimpi saya menjadi seorang engineer. Membuang waktu adalah membuang mimpi.


                                                                                                                                            _dia_

Kamis, 06 Januari 2011

HILANG


Tidak ada sesuatu yang benar-benar mampu untuk mencapai derajat “hilang”, yang mampu tercapai hanyalah perasaan bahwa kita telah meninggalkan sesuatu, walaupun itu sesuatu yang sangat berharga sekalipun untuk kita. Hilang, adalah sesuatu kondisi kita lepas dan bebas dari kurungan penjara perasaan.

Pramudya Wisnu P,
6 Januari 2010 


Hilangnya Masa Remaja, Bagimu..

Sekedar membagi curahan hati, hampir dua tahun lalu. Enjoy. :) 

Sunday, February 10th 2008

Kenapa kita selalu lupa bersyukur atas apa yang kita terima hari ini, yang saya tau dan saya rasa, kita terlalu sering melihat 'ke atas' sehingga kita lupa atas segala kebahagiaan yang tentunya 'mahal' dan belum tentu bisa kita dapat dua kali.

Sore kemarin, waktu saya lagi asyik nonton Insert dan mengunyah Rambutan nan manis, seseorang menelpon saya. Kaget, cause lately saya jarang menerima telepon.

Di seberang, kedengaran seorang cewek dengan logat Sunda yang kental memanggil saya,
"Chrisna? Ini Emma, temen SD, masih inget tidak?"
Kontan saya surprised. Karena sudah lama banget saya tidak ngobrol dengan ini orang kira-kira.. 6-7 taun yang lalu! Dan kalau tidak salah kelas 5 SD dia pindah ke TasikMalaya, setelah itu saya benar-benar lose contact dengan sobat saya itu.

Her voice was so healthy, I guess. Dia bertanya kuliah di mana saya, dan saya jawab di UNPAD. Dia langsung bilang..'Ih hebat, meni gaya..'

Dalam hati saya bilang, 'di mana letak gaya nya? Kampus di jatinangor dan tiap hari harus bertahan dengan segala kesulitan finansial anak kos?!' pikir saya dalam hati.

Selintas saya ingat, Emma adalah temen saya di SD yang otaknya paling pinter di kelas. Dia saingan saya ngedapetin rangking pertama dan teman curhat saya dalam segala kondisi, termasuk partner saya waktu saya ketiban sial kena penyakit demam berdarah untuk pertama kalinya, (cuma saya keluar dari rumah sakit lebih lama).
Terakhir saya liat Emma itu totally a perfect-elementary-school-kid. Lha.. iya. Kulitnya putih, bibirnya tipis, mukanya mirip Suzanna (tentunya waktu paku nya masih nancleb di kepala :p bukan bentuk yang menakutkan), sipit-sipit gimana gitu.. pokonya overall she's a great student. Belum lagi dia pinter dan jadi tempat saya minta bukunya untuk menyalin catetan-catetan yang ketinggalan.
Sampai akhirnya di telepon dia berkata pada saya waktu saya tanya, "Emma apa kabar sekarang?"
"Oh, baik. Sayah mah udah merit, Chris" (tentu dengan logat sunda yang amat kental).
Oh ya? Wow.. saya pikir, yeah I've heard that she got married, but it still makes me pretty shock. Terus dia melanjutkan, "Keluarga saya mah berantakan, Chris."

'God. Is it a real Emma?' Saya pikir.
Tidak menyangka bahwa dia bisa jadi seperti ini.
Well, somebody told me that after she moved, memang keluarganya kacau. Karena, ayah (tiri) nya entah kemana dan ibu nya tidak mampu untuk membiayai anaknya itu. Sampai akhirnya dia dan dua kakak nya itu harus married dan menjalani hidupnya, bekerja untuk membiayai  hidupnya masing-masing.

"Kakak-kakak kamu udah pada nikah belum? Gimana bang Tezar?" dia tanya lagi.
"Oh belum, mereka belum pada nikah." jawab saya.
Dhooonnnggg.. gila, semakin shock saya.

Saya tidak menyangka bahwa di saat segala mimpi-mimpi saya belum saya raih, ada seseorang di luar sana yang used to be really close to me before, yang sekarang udah kehilangan mimpi-mimpinya itu. Waktu SD dulu, saya inget bahwa Emma ingin jadi dokter. Mungkin, kalau berbagai masalah  tidak menimpa keluarganya, dan dengan capability nya, dia bisa aja masuk FK UNPAD, even more. Tapi mimpi-mimpi itu terbang.. dengan segala tanggung jawab rumah tangga yang harus dia emban. Dan saya jadi semakin 'dipermalukan' karena selama ini, saya yang punya kesempatan lebih untuk kuliah, tidak pernah saya jalani dengan sungguh-sungguh, malah saya selalu mengeluh dengan segala yang saya terima. What's wrong being me? Sepertinya setiap masalah yang saya rasakan, dari banyaknya tugas, pacaran, rumah, aahh..! Semua itu tidak ada yang sebanding dengan kesulitan Emma yang seumur saya harus menanggung kesulitan keluarganya dengan married untuk mendapatkan nafkah..

Dan ini makna hilang yang membuat saya sadar, bahwa banyak waktu yang disia-siakan.
Ini benar-benar membuat saya sadar.

Sampai  akhirnya saya bertanya. "Emma udah punya anak?"
"udah.." dia jawab, "Umurnya 2 setengah taun.."

GleekkkK!!! Tenggorokan saya tercekat!
 Oh My God! This sweet girl?

Yang saya inget dulu, Emma suka pake cincin plastik kelinci lucu di jarinya, Emma yang jepitan-jepitan lucu di rambutnya sering bikin saya sirik, Emma yang senyumnya bikin guru-guru memasang cita-cita yang tinggi untuk anak ini. Sekarang dia yang menginjak 19 taun, punya anak yang umurnya 2,5 taun dan suami yang just kerja di BEC katanya..

I just cant speak more.

Di saat kita lagi nakal-nakalnya SMA, di saat kita lagi senang-senangnya mengantri di bioskop buat nonton bareng, di saat kita lagi jadi jurig friendster, atau lagi giat-giatnya nonton pensi dan hangout dengan teman-teman, teman saya yang satu ini sedang bersusah payah mempertahankan hidupnya dan..

Hmm, pregnancy? Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seumur itu melahirkan bayi dan menanggung semua kesulitan jadi seorang ibu. Dan itu benar-benar membuat saya sadar bahwa saya harus bersyukur dan berhenti merasa menderita atas apa yang sekarang terjadi dengan hidup saya. Itu sama sekali berkali-kali lipat jauh lebih kecil dari pada cobaan yang sobat saya derita di luar sana hanya untuk bertahan hidup.

Hilangnya waktu.

"Main ke sini atuh sekali-sekali, Chris. Saya di Bale Endah sekarang.." katanya.
"Oh iya deh nanti kapan-kapan, Emma punya nomor telepon?" jawab saya.
"Aduh gak punya.."

Akhirnya pembicaraan singkat di telepon itu selesai, dan totally, menampar saya  dengan keras.
Apa lagi yang saya butuh sekarang, hah? Haruskah saya selalu merasa kekurangan atas semua kelebihan dan kesempatan yang saya rasakan saat sobat saya tidak rasakan?

Bersyukurlah atas segala yang kita terima, karena semua ini justru membuat kita sadar kalau derita adalah hal yang harus disyukuri untuk kesempurnaan hidup kita. Kita belum merasakan hilangnya..

Waktu yang berharga, dan kesempatan yang berharga pula..

Dan sahabat saya, Emma, menjadi guru terbaik untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.




Chrisna Nuraisyiah,
2008. Edited on 2011.

Sesal

Hari itu, Sabtu 28 Agustus 2010. Awan hitam masih menggelayut manja di pelataran langit. Seakan memahami bahwa terik tak akan cukup indah di siang hari itu. Perempuan itu tertatih menghampiri sesosok tubuh pria yang ditutupi sehelai kain tradisional. Perlahan dibukanya kain yang menutupi bagian wajah pria tua itu. Matanya nanar menatapi wajah pria yang cinta saja tak cukup untuk mendefinisikan perasaannya pada pria yang ia panggil ‘kakek’ itu. Putih, kaku, namun seberkas cahaya dan seulas senyum samar membuat hatinya agak berlega hati. Ia kembali menutup kain itu, entah apakah ia menyadari dengan sungguh hati bahwa itulah kali terakhir ia menatap wajah pria yang telah menemani hidupnya hampir 22 tahun lamanya.
Jam berganti jam, perlahan ia mulai semakin menyadari apa yang terjadi padanya. Tatkala ia menyalakan TV, tak ada sosok yang menemaninya menonton, aktivitas yang biasa mereka lakukan bersama di waktu senggang. Ketika hari Minggu datang, tak ada yang dijemputnya untuk pergi bersama ke gereja. Saat pagi menjelang tak ada lagi sosok yang berdiri di pagar belakang rumah menunggu pedagang sarapan datang. Tak ada, tak ada lagi yang mendengarkan cerita-ceritanya tentang ini dan itu. Tak ada suara batuk yang dulu sering membuatnya merasa terganggu. Tak ada suara tawa yang terkekeh renyah lagi. Tak ada, dan semakin lama semakin banyak “tak ada” yang ia sadari.
Semua sudut ruangan adalah kenangan bersamanya. Setiap jam dalam semua hari dipenuhi adanya ia dan tingkahnya. Dan setiap kali menyadari itu, perlahan sebentuk buliran bening mengalir lembut di pipinya. Buliran bening itu kemudian ditingkahi beribu penyesalannya. Sesal akan setiap kemarahan, kekesalan, atau lakunya yang lain yang mungkin menyakiti pria itu. Sesal itu kemudian dilanjutkan dengan jutaan jika… andai… kalau saja…. Namun ia tahu dan ia berusaha menyadarkan dirinya bahwa ia telah ikhlas akan kepergian pria itu, dan yakin bahwa pria itupun telah mengikhlaskan dan memaafkan kealpaannya.
Di sudut yang lain, keluarga besarnya tak kalah kehilangan. Sama sepertinya, ribuan sesal menyesaki mereka. Sesal akan bakti yang rasanya tak mencukupi walau memang tak akan pernah mumpuni. Sesal karena tak sempat meminta maaf secara langsung. Sesal akan ini dan itu. Dan jutaan andai pun lagi-lagi menyergap. Namun mereka pun sadar bahwa segalanya adalah kehendak-Nya, dan hal yang tersisa bagi mereka adalah ikhlas, doa, dan usaha mengemban segala amanat.
Dan seisi rumah itu sesungguhnya disesaki oleh rasa kehilangan, yang juga menyempilkan rasa sesal.
Mungkin itulah sebuah makna kehilangan. Kehilangan yang seringkali diikuti oleh penyesalan. Hal yang membuat perempuan itu berpikir untuk melakukan hal-hal yang ingin dan harus dia lakukan sebelum dia kehilangan lagi orang-orang yang dicintai. Walau menyadari tak pernah ada yang sempurna, minimal perempuan itu ingin sering-sering berkata maaf dan ingin sering-sering menyisipkan kalimat bahwa dia sungguh mencintai mereka dan kalian semua yang senantiasa mengisi hari-harinya selama ini.
Agustus 2010
Wini Intan

Rabu, 05 Januari 2011

Kehilangan

Hm..rasanya sulit bagi saya untuk menceritakan pengalaman saya mengenai kehilangan. Kata mama saya, saya ini orangnya ceroboh. Selalu gampang kehilangan barang. Dari kecil sudah begitu. Tapi, ada satu hal yang membuat saya nggak akan memaafkan diri saya sendiri atas kehilangan itu. Ini lebih berat daripada kehilangan barang atau kehilangan pacar sekalipun. Saya kehilangan kepercayaan orang lain. Saya pikir saya tidak apa-apa, tapi nyatanya saya masih sering berpikir saya ini sampah kalau ingat hal tersebut.

Ini nggak semudah yang saya bayangkan. Bagaimana tatapan mata mereka ketika saya mengakui kesalahan. Saya mencoba mencari sedikit kepercayaan dari masing-masing tatap mata itu. Tapi…terlambat. Kesalahan saya fatal. Saya kehilangan kepercayaan mereka. Sampai hari ini saya masih berharap saya bisa kembali ke masa lalu. Saya akan hindari kesalahan itu. Saya takut (ya, saya mengakui saya takut) kehilangan kepercayaan mereka pada saya. Kehilangan hal itu seperti saya ini adalah sampah. Dibuang, diabaikan dan dijauhi. Saya kecewa. Marah. Dan jijik. Pada diri saya sendiri.

Dari hal ini saya belajar, kata maaf itu mahal. Tidak mudah mendapatkan maaf dari orang lain. Mungkin mereka memaafkan, tapi mereka tidak lupa akan kesalahan fatal yang saya buat. Dan saya memahami bahwa saya akan merasa kepercayaan itu penting ketika hal itu telah hilang dari saya.

Untuk kalian,
Setelah kerja keras kita selama satu tahun kemarin,
Terima kasih kalian dulu pernah percaya pada saya.
Terima kasih atas kesempatan yang kalian berikan pada saya.
Terima kasih atas dukungan yang kalian berikan.
Maafkan saya yang telah mengecewakan kalian di akhir.
Maafkan atas kesalahan yang saya perbuat, nama tim kita tercoreng.
Maafkan atas kesalahan yang (ternyata) tidak bisa saya perbaiki.
Maafkan……tidak akan pernah cukup kata maaf itu.
Maafkan. Terima kasih.

*Tuhan, bisakah saya dapat kesempatan  sekali lagi?*

~Liris Kinasih Paramita
www.middleday.blogspot.com
Umur saya baru sepuluh tahun saat kakek saya meninggalkan dunia untuk selamanya. Saat meninggal, engkong, begitu biasa saya memanggilnya (seharusnya mbah kakung, tapi gara2 saya sepupu saya yang memanggilnya engkong, semua jadi tertular memanggil beliau demikian), baru saja 11 hari berumur 61 tahun.

Beliau berumur 50 tahun saat melantunkan adzan ke telinga saya.

Engkong meninggal karena kanker. Kanker paru-paru lebih tepatnya. Penyakit yang menggerogoti tubuhnya sampai kurus kering tak berdaya, hanya dalam waktu satu setengah tahun semenjak dokter mendiagnosa engkong. Bukan hanya satu dokter, banyak dokter yang kami datangi. Dan semua menjatuhkan vonis yang sama. Engkong sakit. Dan bukan sakit biasa yang akan sembuh beberapa hari setelah minum obat generik dari apotik.

Engkong akan, dan harus bertempur. Dan kami hanya bisa disini dan mendukungnya.

Saya yang saat itu baru berumur 10 tahun, hanya bisa mendengar bisik-bisik tentang engkong. Awalnya semua menyangka hanya tumor biasa, hilang hanya dengan operasi. Setelah prosedur selesai, semua bernafas lega. Kemudian timbul lagi. Kali ini lebih parah. Berkali-kali hingga keluarlah kata-kata itu dari dokter. Kanker. Yang menakutkan karena hanya berarti satu hal: sebentar lagi engkong akan pergi. Dan tidak akan pernah kembali.

Mulailah hari-hari itu. Hari dimana engkong harus bolak-balik kemoterapi, ditambah berbagai macam obat yang harus engkong telan setiap harinya. Pengobatan medis, alternatif, semua pernah engkong lakukan. Saya masih ingat wajah engkong saat tubuhnya mulai bereaksi terhadap obat-obatan, saat tidak ada satu helai rambutpun di tubuhnya. Semuanya rontok, saking kerasnya obat-obatan yang harus ditelan setiap harinya. Terus begitu setiap hari.

Lalu semua mulai jelas. Engkong semakin kurus, kulitnya semakin keriput, semakin sulit bernafas, dan sulit bergerak. Obat-obatan tidak lagi bisa membantunya. Teman setianya adalah kursi roda dan tabung oksigen. Engkong menikmati udara-udara terakhir yang bisa ia hirup. Semuanya terjadi di depan mata kami. Semuanya. Jelas, bahkan di mataku yang baru berumur sepuluh tahun.

Dan berkumpullah kami semua, berusaha tegar menghadapi hari itu. Hari beliau akan pergi.

Pikiran naif saya waktu itu berkata, engkong pasti akan sembuh. Engkong akan bisa berjalan-jalan lagi, makan cah kangkung favorit beliau lagi di Pagoda, atau bahkan menjemput saya pulang dari sekolah.

Tapi ternyata hari itu datang, dan mimpi-mimpi saya sirna.

Katanya, engkong tersenyum dalam tidur panjangnya. Bengkak di tangannya hilang, hanya saja sekarang tubuhnya dingin. Jauh lebih dingin dari saat terakhir saya menemaninya dan menyentuhnya tangannya. Saya tidak sempat mengucapkan selamat tinggal, atau betapa hari-hari saya akan terasa berbeda tanpanya. Kalau akan ada bagian dari diri saya yang hilang saat beliau pergi.

Kalau saat beliau pergi, akan ada seseorang yang kehilangan sebagian dari jiwanya, sosok yang ia kagumi dari dalam hati, tempatnya mengadu, tempatnya berkeluh kesah.

Ibu. Anak sulung kesayangannya.

Dan saya adalah anak sulung ibu saya. Pengagum terbesar ibu.

Jadi saat saya melihat saat itu, saat engkong belum meninggal, ibu yang duduk di tepian tempat tidurnya dan menangis, mendengar kabar kalau engkong mulai tidak sadar, hati saya hancur.

Karena saat engkong pergi, ibu saya hancur. Dan kalau ibu hancur, saya pun hancur.

Dan saya yang berumur sepuluh tahun hanya dapat menyaksikan, terdiam dan berdoa.

Hari itu tiba, dan engkong akhirnya pergi dengan tenang. Meninggalkan saya, ibu, kami. Beliau mungkin tidak akan bisa lagi terlihat, tersentuh. Tapi beliau tidak akan pernah hilang dari hidup kami.

Satu kenangan saya dengan engkong adalah ketika saya, salah seorang sepupu saya, dan engkong naik sepeda pagi-pagi di pangandaran untuk melihat matahari terbit. Kami naik sepeda bertiga, sepupu saya didepan, saya dibonceng di belakang. Engkong yang mengayuh sepeda.

Hari itu kami tidak melihat matahari terbit, karena ternyata engkong tidak tahu tempat yang tepat untuk melihatnya. Kami hanya berkeliling. Tapi kenangan itu, dan kenangan yang lain, yang jelas maupun yang samar, tidak akan pernah hilang dari diri saya. Saya bawa sampai kemanapun.

Engkong tidak pernah melihat saya lulus sekolah, tidak akan pernah melihat saya nantinya menikah. Tapi engkong akan selalu ada.

Dan tidak akan hilang.

Dan saya akan jadi satu-satunya cucu perempuan yang mengenal beliau luar dalam, sejak saya dilahirkan.




Chika Anindyah Hidayat
“Untuk ibu. Cause if you’re hurting, it’s aching for me too….”

Priyanto Hasbullah (1954-2010)

Bapak  Bilang, "De Pri Duluan, Berguguran Nih Saudara Bapak, Urus Dirimu Sendiri, Jaga Semuanya, Kalau Ntar Bapak Juga Ikut De Pri..."
Pakde Tertua Memberi Wejangan, “De Pri Kan Adik Pakde, Tapi Dah Pergi Duluan.Kamu Jg Harus Siap. Kmu Kan Laki. Kalau Bapakmu Ndak Ada, Kan Kamu Yang Jaga Ibu Sama Mbak Shinta."
Aku Dulu Janji Mengunjungi Pakde Januari 2011. "Kangen Ngobrol Karo Koe, Nang..." Katanya. Belum Tepati, Pakde Sudah Pergi Duluan. Maaf Ya Pakde.
Pakde Semasa Sehat Adalah Seorang Guru Yang Ceria, Dicintai Para Muridnya.
Pak Guru Yang Senantiasa Membuka Pintu Rumahnya Demi Melayani Anak Didiknya Yang Bertanya Atau Sekadar Berbagi Cerita Dan Kue.
Pak Guru Yang Jadi Pendengar Yang Baik. Ayom Anak Didik. Bangga Akan "Njawa"-nya.
"Dua Kali Menikah, Dua Kali Kehilangan Orang Yang Ia Sayangi, Tak Buat Pak Guru Kehilangan Semangat. Dia Bapak Perkasa.
Bapak Perkasa Yang Memanjakan Anak Tunggalnya. Katanya, "Satu Hal Yg Tidak Bapak Berikan Ke Teman2 Adalah Usapan Di Kepala Saat Mengajar.”
Bapak Perkasa Yang Pulang Malam. Dan SELALU Membawa Buah Tangan.
Bapak Perkasa Yang SELALU Bertanya, "Nduk, Hari Ini Mau Makan Apa? Nanti Bapak Belikan."
Saat Lumpuh, Semangat Pakde Layu.
Anak Satu-satunya Melupakan Semuanya, Kebutuhan Pribadi Dan Sosial-nya Ia Lupakan. Ia Curahkan Semuanya Untuk Melayani Ayahnya.
Dan Sang Anak Manja Berubah Menjadi Anak Perkasa, Layaknya Ayahnya Dulu. Melayani, Mencari Makan, Menyuapi, Hingga Urusan Bersih-Bersih Badan. Sang Anak Sudah Buta Akan Wujud Dan Aroma Kotoran.
Orang-orang Mengeluh. Kakak, Bahkan Kadang Anaknya. Tapi, Sang Anak Yang Telah Lupa Daratan Karena CintaKepada Ayahnya Tetap Bertahan.
6 Tahun Lebih Pakde Terlihat Seperti Seorang Pecundang Di Mata Orang Lain.
Namun Pada Akhirnya, Aku, Darahku, Semuanya Tahu, Pakde Adalah Pak Guru, Bapak Perkasa, Pecundang Yang Dicintai.

ST '07

KEHILANGAN

Lucu ya, di dunia ini sesuatu ada diciptakan untuk kemudian dihilangkan. Mengapa tidak ada suatu wujud pun yang kekal abadi yang hidup di dunia ini? Semua bentuk kelak akan hilang tanpa bekas, tak peduli apakah itu yang hidup atau pun yang mati. Mungkin hanya dzat yang maha mulia, yang akan kekal abadi, yaitu Tuhan. Tapi, pernahkah kawan berpikir mengapa hal itu terjadi? Mengapa tidak ada yang kekal selain Tuhan di dunia ini? Mengapa tidak diciptakan saja semuanya tidak bisa hilang, tenggelam, hancur ditelan masa?
Tilik kembali mengenai esensi keberadaan semuanya itu di dunia. Dunia ini sesuatu yang memiliki batas, ukuran, ruang. Kalau semua wujud bentuk rupa itu kekal, apa yang akan mungkin terjadi? Chaos? Pasti terjadi! Pengisian ruang itu akan semakin menyesakkan jika semua benda tidak memiliki batas waktu keberadaannya di dunia ini. Tapi, itu kan hanya berlaku untuk semua yang memiliki bentuk tetap? Bagaimana jika sesuatu yang tidak memiliki bentuk tetap, seperti senyuman, perasaan, cinta, kasih saying juga ikut hilang seiring berlalunya waktu. Apakah itu semua jika keberadaannya kekal akan membuat ruang yang ada semakin sempit? Saya pikir tidak. Akan tetapi, mengapa itu semua lebih mudah hilang ketimbang sesuatu yang memiliki bentuk tetap tetapi fungsinya tidak menetap di hati ini?
Bayangkan kawan, jika senyum, kasih sayang, cinta kekal sifatnya di dunia ini. Perang, kemunafikan, serakah, otoritas tidak akan pernah tercipta atau masuk ke dalam daftar isi di kamus. Tapi semuanya hanya menjadi paradoks, kontradiksi dengan kenyataan. Kita tidak ada yang menyadari, semuanya begitu menyesal ketika itu semua hilang dari peredaran. Cobalah dari sekarang, walau tidak mungkin kekal adanya, tetapi kita buat waktu berlakunya menjadi lebih lama sehingga kita tidak akan menyesal begitu semuanya menjadi hilang, lenyap, enyah dari muka bumi ini. Sebarkan senyum, tawa, kasih sayang, dan cinta ke sesamamu. Buatlah itu lebih bermakna sebelum itu hilang ditelan senja.

Buah karya: Febri Prasetiyo Noor (190110070094)

Takkan Hilang : Mama

Takkan Hilang

Aku ingat saat masih kecil, tengah malam aku terbangun karena suaranya. Sambil berpura-pura tidur, aku mendengarkan dengan seksama apa yang sedang terjadi.
Dia, di tempat tidur itu, menangis sambil berdoa untuk kami...

Aku ingat waktu ia pernah menangis dikarenakan seseorang dan kami memeluknya dengan erat. Hari itu, aku yang suka membantah perkataannya langsung berubah baik di hadapannya hanya karena tidak ingin melihat air mata itu tertumpah.

Aku juga ingat betul saat itu, aku masih duduk di kelas 1 SMP, merengek-rengek padanya ingin ikut Camping PMR padahal waktu itu ia sedang sakit. Tapi aku menangis dan akhirnya ia mengabulkan permintaanku. Pada akhirnya aku justru sangat menyesal mengikuti camping itu karena tidak semenyenangkan yang kupikirkan.

Ia adalah wanita paling tangguh yang pernah kukenal: Mama.
Menjadi wanita single parent menurutku sangat tidak mudah, terutama dengan 5 orang anak yang memiliki kebutuhannya masing-masing. Ia bekerja tanpa memikirkan dirinya. Bangun sangat pagi, memasak sarapan, menyiapkan anak-anaknya sekolah dan sarapan, memasak, mencuci, membereskan rumah, bekerja, dan tidur larut malam.
Aku tidak pernah merasakan ketangguhan Mama sampai ketika aku harus kehilangannya.

Aku ingat terakhir aku bertemu Mama di rumah sakit, aku terkejut karena badan Mama menjadi sangat kurus. Bahkan waktu itu aku belum sempat pamitan dengannya karena kelalaianku. Namun aku berpikir bahwa aku akan bertemu dengannya lagi.

Tapi tidak.
Beberapa minggu kemudian saat aku libur semester, aku membantu bibiku memasak di rumah. Moment itu bahkan masih terekam jelas di otakku, aku yang sedang menghaluskan sayur, tiba-tiba entah kenapa aku menggumamkan sebuah lagu yang dinyanyikan Nikita...
Di doa ibuku, namaku disebut.... Di doa ibu kudengar, ada namaku disebut.
Beberapa detik kemudian telepon rumah terdengar. Kakekku yang mengangkat. Abangku menelepon dari rumah sakit, berkata bahwa Mama pingsan semalam. Seisi keluargaku panik dan memutuskan untuk langsung menjenguk ke rumah sakit. Hanya aku yang tidak mau ke rumah sakit. Aku bilang pada mereka untuk tetap di rumah membantu Bibi memasak. Beberapa menit kemudian telepon kembali berdering. Kakekku kembali mengangkatnya. Terakhir yang aku ingat adalah aku penasaran ke ruang keluarga karena mendengar nenekku ribut. Di situlah aku tahu, Mama dipanggil Tuhan. Hal pertama yang kulakukan adalah meremas tanganku sendiri sambil berteriak dalam hatiku supaya aku bangun dari mimpi buruk itu. Sampai akhirnya aku sadar bahwa itu bukan mimpi.

Semua datang. Dari setiap penjuru Indonesia, mereka semua datang. Sahabat-sahabat dan keluarga Mama, bahkan dari keluarga ayahku. Mereka menangis dan merasa kehilangan. Aku bisa merasakan itu karena masing-masing dari mereka mengatakan kelebihan Mama sambil menangis. Di situ aku mengetahui bahwa banyak sekali orang-orang yang merasa terinspirasi melalui hidup Mama. Kadang aku berpikir, bagaimana caranya ia bisa membagi waktu sehingga terlihat ‘hebat’ di mata setiap orang yang mengenalnya?

Banyaknya air mata yang jatuh hari itu, setiap pelukan satu sama lain, jeritan histeris, kerumunan orang-orang, aku tidak lupa. Waktu itu, aku teringat sebuah lagu yang pernah Mama ajarkan padaku....
Tuhanlah yang menghiburku, tanganku dipegang teguh. Hatiku berserah penuh, tanganku dipegang teguh...

Mama meninggal karena sakit paru-paru basah. Itu sangat mungkin terjadi karena Mama sering mencuci baju atau mencuci piring subuh atau malam hari. Bahkan aku ingat ketika Mama pulang kerja dalam keadaan basah kuyup kehujanan karena lupa membawa payung. Saat itu Mama berkata, ia terpeleset di tengah jalan karena licin. Badannya hari itu sakit, tapi besok paginya ia tetap menyiapkan sarapan bagi kami.

Dulu, kadang aku bermimpi bertemu Mama, mencium, memeluknya bahkan menangis di hadapannya. Aku kini mendapat pelajaran penting untuk menunjukkan rasa cinta terhadap orang-orang yang kukasihi sebelum terlambat. Sebelum kehilangan dirinya.

Terkadang sampai saat ini masih ada kenalan Mama yang menangis teringat beliau bila bertemu denganku.
Aku pernah mendengar di TV sebuah kalimat yang mengatakan bahwa di dalam hati perempuan, akan ada seseorang yang tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya. Aku sudah punya seseorang itu: Mama.
Wajahnya saat tertawa, lelah,  atau marah, air matanya, lekuk tubuhnya saat menari-nari, ketika ia memilih untuk mengalah pada seseorang, teriakannya saat memanggilku, tangannya saat membelai rambutku, suara merdunya yang teralun di seisi rumah, masakannya, fisiknya ketika sakit sampai kematiannya—semuanya tidak akan pernah hilang.

Nelly Susan, 2010

Hilang dan Merindukannya

Iri sekali saat itu. Saat melihat temanku begitu dekat dengan kakak laki-lakinya. Andai saja kakakku masih hidup, pikirku dalam hati. Aku merindukannya.

Masi terekam jelas di ingatanku. Saat dia tiba di pintu rumahku. Aku yang masih remaja berlari-lari memeluknya. Ternyata aku sangat merindukan kakak laki-laki ku yang sudah 4 tahun terakhir ini tinggal di Jakarta.

Dulu saat aku masih kecil, dialah yang selalu mengantar dan menjemput aku dan adikku ke sekolah. Saat dia tidak ada di rumah, aku sering memainkan gitarnya secara diam-diam sampai memutuskan senarnya dan pura-pura tidak tahu kalau dia sudah marah-marah karena senar gitarnya putus. Belum lagi stick drumnya yang aku jadikan pedang-pedangan saat bermain dengan adikku. Aku sudah lupa, lupa seperti apa bayang wajahnya yang marah saat itu.

Walaupun singkat sekali waktu ku bermanja-manja dengannya. Aku ingat saat aku diantar pulang naek motor oleh teman SMA ku, dia marah sekali. Dia bilang aku masih kecil, aku belum boleh pacaran. Sungguh konyol pikirku, karena aku dikatain masih anak-anak. Tapi aku senang sekali, aku senang karena ternyata dia sungguh menjagaku. Sepertinya dia cemburu melihat aku diantar pulang oleh orang lain.

Kepulangannya ke Medan memang sangat mendadak. Tepat tanggal 26 Desember 2004 dia sampai di Medan. Dalihnya ingin menghabiskan Natal dan Tahun Baru bersama, padahal biasanya dia menolak kalau disuruh pulang ke Medan.

Saat malam menjelang tahun baru tanggal 31 Desember, aku ingat sekali kami bercanda-canda sambil memasang tirai jendela rumah. Aku yang tubuhnya pendek tidak bisa menjangkau pengait yang ada di atas jendela, dan dia mengangkatku dengan tangannya yang kekar supaya aku bisa menjangkau pengait itu. Aku senang sekali rasanya,seperti terbang, dan dia mulai mengayun-ayunkanku di udara.

Teman-temanku iri padaku, karena punya kakak laki-laki yang baik dan tampan seperti kakakku. Yah tampan, karena banyak sekali wanita-wanita yang tergila-gila karena ketampanan kakakku itu. Pernah suatu malam dia curhat padaku kalau teman dekatnya yang dipercayanya malah merebut pacarnya, dia kesel sekali saat itu. Tapi dengan entengnya aku bilang. “Toh kakak punya banyak wanita yang lain kan buat dijadikan pacar baru.“ Kakakku hanya tertawa tapi aku tahu di balik tawanya dia sedih karena pacarnya selingkuh dengan sahabatnya. Dan malam itu kami duet bersama..

“Kau hancurkan hatiku, hancurkan lagi, kau hancurkan hatiku tuk melihatmu....
kau terangi jiwaku, kau redupkan lagi , kau hancurkan hatiku tuk melihatmu.. “

Tiga bulan bersama di tahun 2005 itu sangatlah indah. Belum pernah kurasakan aku sedekat itu dengan kakak laki-laki ku. Bermanja-manja dengannya, duduk bersama nonton tv saat malam minggu (janggal rasanya saat malam minggu dia rela menemaniku di rumah menonton tv J), makan bakso bersama di luar rumah, mendengarkan radio bersama sambil bernyanyi sekencang-kencangnya di kamarku, bersenda gurau bersama, belum lagi dia selalu membantu membersihkan rumah dan terkadang dia selalu menggantikan tugasku bersih-bersih rumah saat aku sedang banyak tugas dan ujian. Sweet bro..

Dan malam itu pun datang.


Aku tahu kakakku belum pulang ke rumah, aku dengar dia pergi reunian dengan teman SMA-nya, yah wajar pikirku selarut ini belum pulang ke rumah, apalagi sebentar lagi dia akan kembali ke Jakarta. Memang beberapa hari ini kakakku terlihat aneh, dia mendadak berkata kalau dia harus pulang, dia harus segera pulang, mungkin kembali ke Jakarta yang dimaksudkan olehnya.

Setelah berdoa, aku pun tidur, terlelap tanpa ada firasat akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan malam itu. Tepat pukul 2 pagi 24 Maret 2005, terdengar suara gaduh di luar kamarku, tapi aku ingin tetap tidak terusik akan kegaduhan itu, hanya ingin tidur saja mungkin kakakku sudah pulang pikirku.

Tapi tidak, semakin lama semakin gaduh, aku pun bangun, dan aku melihat adikku sudah tidak ada di kamar bersamaku. Saat akan bangun keluar kamar, adikku masuk ke kamar dengan terisak-isak dan tangis yang luar biasa keras. Ada apa pikirku dalam hati. “Kenapa?" Kataku padanya. Dan dengan pelafalan yang tidak jelas karena sambil menangis dia berkata kakakku meninggal karena tabrakan.

Aku terdiam, seperti disambar petir saat itu, aku tidak tahu bagaimana airmata itu menetes begitu cepatnya keluar dari pelupuk mataku. Sakit, sedih, ingin berontak, marah, ingin berlari sejauh mungkin, berusaha meyakinkan pada diri ini hanya mimpi, tapi tidak. Aku sadar aku tidak mimpi. Aku berpelukan dengan adikku, kami menangis sejadi-jadinya berdua di kamar.

Rumahku ramai, ramai sekali. Semua orang datang, berlarian ke rumahku seakan tidak percaya pada berita yang baru saja mereka dengar, aku duduk terdiam di kamar kakakku, mencari-cari sosok yang ku sayangi di dalam kamar itu. Aku dengar bunyi ambulance di depan rumahku, yah itu dia. Itu dia sosok yang aku cari, aku berlari, tapi kakiku terhenti saat melihat mamaku jatuh berpelukan di lantai dengan papaku, semua orang mendekati mereka dan menangis bersama mereka.

Dan keluarlah dari ambulance itu 4 orang pria berpakaian putih mengangkat jenazah kakakku. Oh Tuhan, wajah tampan yang selalu menemaniku 3 bulan terakhir ini sekarang berganti dengan wajah dingin yang kaku dan hanya diam, tanpa senyum manis yang biasa ku saksikan setiap harinya. Aku tidak mendekatinya, aku menjauh, aku tidak sanggup pikirku.

Esoknya, aku melihat mamaku duduk lemas di hadapan jenazah kakakku, papaku menangis sambil memukul-mukul dinding rumah, seakan tidak terima anak lelaki semata wayangnya telah lebih dahulu darinya menjumpai sang pencipta. Padahal 3 hari lagi kakakku akan merayakan ulang tahunnya yang ke-24 tahun. Angka yang manis kataku dalam hati.

Ketika akan dimakamkan, banyak orang yang mengantarkan kepergian kakakku ke tempat peristirahatannya selamanya. Banyak orang yang sangat menyenangi kakakku dari yang anak-anak sampai yang tua pun ikut mengantarkan kepergian kakakku, dia adalah seorang yang sangat ringan tangan, sangat penolong, ramah, senyum pepsodentnya selalu hadir mewarnai hari orang-orang di sekitarnya, canda tawanya yang selalu menghibur orang lain, petikan gitar dan suara merdunya yang selalu terdengar setiap sore di sekitar rumahku, semua orang akan sangat merindukannya, tidak terkecuali aku.

Sampai saat aku menuliskan ini, aku masih sangat ingat, ketika terakhir kali aku begitu dekat dengannya, aku menata rambutnya dengan tanganku sendiri, saat itu dia akan ikut Audisi AFI. Konyol pikirku, tapi dia memang sangat senang menyanyi. Aku baru sadar, yah dia sangat tampan, kakakku sangat tampan, ditambah dengan tubuh atletis dan senyum pepsodentnya itu, sunggu perpaduan yang sangat sempurna. Pantas saja banyak wanita yang tergila-gila karenanya. Tidak ada yang bisa menggantikan sosoknya yang begitu berharga di hidupku.

Always have you in my heart brother. Miss you… L



                                                                                                                              Vera, 2011 J

Selasa, 04 Januari 2011

Not Just An Ordinary Umbrella

Makna kehilangan bagi saya adalah hal-hal yang pernah saya miliki, namun di saat saya menginginkannya, ia(mereka) tidak dapat saya raih, rasakan, hayati, kembali.

Kehilangan?

Bagi saya, itu adalah hal yang sangat biasa.

Saya seorang yang pelupa. Dan tidak apik. Terutama terhadap barang-barang yang saya miliki. Dari kecil, barang-barang yang saya bawa ke sekolah pasti selalu ada saja yang tertinggal, entah itu jaket, tempat minum, tempat makan, asesoris, atau apapun itu. Pada akhirnya memang sebagian dari barang-barang tersebut hilang entah kemana, yah… mungkin berada di tangan yang lebih ‘membutuhkan’.

Terakhir saya kehilangan payung. Sebuah payung. Payung dengan motif batik, dengan sedikit warna hijau, dengan gagang dari plastik berwarna perak dan bagian bawahnya berbentuk oval. Di bagian oval itu (entah masih ada atau sudah pudar sekarang) ada lambang singa khas negara tetangga. Payung itu kecil dan sangat ringan, dan kadang saat hujan ia hampir terbawa angin bila saya tidak memegangnya dengan erat. Tapi entah kenapa saya lebih menyukai payung itu dibanding dengan payung-payung saya sebelumnya. Mungkin karena faktor awet, yang hingga beberapa bulan saya gunakan (sampai saat training di daerah Lembang) payung tersebut tidak pernah rusak.

Dan begitulah. Kadang sesuatu yang sangat kita sukai, ialah yang paling cepat pergi. Payung itupun hilang karena saya lupa membawanya pulang suatu ketika.

Kehilangan suatu barang, bagi saya itu hal yang biasa terjadi. Saya pun pernah mengalami yang lebih buruk, saat kehilangan HP. Namun kemarin, makna ‘kehilangan’ itu sangat terasa. Silahkan tanyakan kepada teman-teman saya, saat itu saya sampai mencari-cari benda itu sampai berhari-hari. Apalagi payung itu hadiah dari seorang kerabat kepada ibu saya.

Kemudian, saya berpikir. Apa yang membuat kehilangan ini terasa berat?


Karena di dalam hati, saya masih menggenggam payung tersebut dengan erat. Seolah tidak ingin melepaskannya. Masih mencari-cari jawaban atas banyak ‘Kenapa?’ yang muncul di otak saya.

Saya masih belum merelakannya. Belum memaknai bahwa inilah yang terjadi. Bukan menyalahkan siapa-siapa, berandai-andai seolah hari itu terulang kembali, ataupun mengerang dan mengeluh atas kejadian ini.

Menerimanya. Ini yang terasa berat.

Saya rasa, ini masalah yang sangat umum saat kita menghadapi suatu ‘kehilangan’. Terlepas dari apa pun objeknya. Apakah itu cinta, waktu, harta, rasa, kejadian, momen, atau bahkan hanya sebuah payung.

Dan sekarang, saya sedang ingin menikmati ‘kehilangan’ itu.

Kenapa?

Karena saya percaya, saya pasti akan menemukannya kembali, entah dalam bentuk apapun.

Bandung, 3 Januari 2011
Deiz

Tulang Rusuk yang Hilang

Seorang wanita menanyakan kepada kekasihnya, “Yang paling kamu cintai di dunia ini siapa?”
“Kamu dong!!!” balas sang kekasih dengan cepat. “Menurut kamu, aku ini siapa?”
Sambil berpikir sejenak kekasihnya menjawab sambil menatap mata dengan lembut kemudian menjawab, “Kamu tulang rusukku.”

“Ketika Tuhan melihat Adam kesepian, dengan diam-diam pada saat Adam tertidur dengan pulas, Dia mengambil tulang rusuk Adam dan diciptakan Hawa”
“Saat ini semua pria mencari tulang rusuknya yang hilang… dan saat menemukan wanita
untuknya, dia tidak lagi merasakan sakit hati…”

Setelah menikah, pasangan itu mengalami masa yang indah dan manis untuk sesaat. Setelah itu, pasangan muda ini mulai tenggelam dalam kesibukan masing-masing dan kepenatan hidup yang ada. Hidup mereka menjadi membosankan. Kenyataan hidup yang kejam membuat merekan mulai menyisihkan impian dan cinta satu sama lain. Mereka mulai bertengkar… dan pertengkaran itu mulai menjadi semakin panas. Sampai pada suatu hari akhir dari sebuah pertengkaran, wanitanya lari keluar rumah. Saat tiba di seberang jalan, dia berteriak, “Kamu tidak mencintaiku lagi!”

Pria itu sangat membenci dengan ketidak-dewasaaan yang ditunjukan wanitanya dan dengan spontan membalasnya, “Aku menyesal kita menikah! Ternyata, Kamu bukan tulang rusukku!!!”

Terdiam dan berdiri terpaku wanita itu mendengar kekasihnya mengucapkan kata-kata seperti itu. Kekasihnya sadar dan menyesal dengan apa yang sudah diucapkannya, tetapi seperti air yang sudah tumpah dan tidak mungkin diambil kembali. Dengan berlinang air mata, wanita tersebut kembali ke rumah dan mengambil barang-barangnya, bertekad untuk berpisah. “Kalau aku bukan tulung rusukmu biarkan aku pergi.”



Lima tahun berlalu…
Pria itu tidak menikah lagi, tetapi berusaha tahu akan kehidupan wanitanya. Wanita itu pernah keluar negeri tetapi sudah kembali lagi. Dia pernah menikah dengan seorang asing dan kemudian bercerai. Pria itu kecewa karena wanita itu tidak menunggunya kembali. Dan ditengah malam yang sunyi dia meminum kopinya dan merasakan sakit di hatinya. Tetapi dia tidak sanggup mengakui bahwa dia merindukannya.

Suatu hari…
Mereka akhirnya bertemu…di airport, tempat dimana banyak terjadi pertemuan dan perpisahan. Mereka dipisahkan hanya oleh sebuah dinding pembatas. “Apa kabarmu?”
“Baik…apakah kamu sudah menemukan tulang rusuk mu yang hilang?”
“Belum..” “Aku terbang ke New York dengan penerbangan berikutnya”.
 “Aku akan kembali 2 minggu lagi. Telpon aku kalo kamu sempat. Kamu tahu nomor telpon kita, tidak ada yang berubah”.
Wanita itu tersenyum manis, lalu berlalu. “Bye…”

Seminggu kemudian dia mendengar bahwa wanitanya adalah salah satu korban Menara WTC. Malam itu…sekali lagi pria itu meneguk kopinya… dan kembali merasakan sakit dihatinya.

Akhirnya dia sadar bahwa sakit itu adalah karena wanitanya, tulang rukuknya sendiri yang telah dengan bodohnya dia patahkan.

“Kita melampiaskan 99% kemarahan justru kepada orang yang paling kita cintai. Dan akibatnya seringkali adalah FATAL....”
Berhati-hatilah dengan amarahmu!!!

Vera, 2011