Jumat, 07 Januari 2011

Saat Waktu dan Mimpi Harus "Dibuang"

Lost time is never found again. (Benjamin Franklin)

Satu dialog tentang waktu 
A : Apa yang kekal dalam kehidupan kita ini ?
B : Waktu. Waktu itu kekal. Karena waktu selalu ada dalam dimensi kehidupan manusia.
A : Ya, benar. Tapi apakah setiap detik, menit, jam, hari, bulan yang kamu lalui adalah sama dalam setiap rentang hidupmu ?
B : Tidak. Setiap unit satuan waktu itu selalu berbeda karena waktu selalu bergulir.
A : Ya. Waktu itu adalah kekal tapi sekali kamu kehilangan waktu kamu tidak bisa meraihnya kembali. Kamu memiliki waktu di masa depan, tetapi waktu di masa ini dan di masa lalu tidak akan pernah sama dengan waktu di masa depan. Setiap moment yang terjadi di masa sekarang dan di masa lalu tidak akan sama dengan moment yang terjadi di masa mendatang.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kehilangan waktu ? Saya mengalaminya, kamu mengalaminya, semua kita mengalaminya. Saya benar merasa tolol  telah lalai dan membuang waktu saya. Waktu itu berharga. Ya saya tahu. Di bangku SD saya diajarkan kata-kata mutiara klasik “Waktu adalah uang”. Ya benar waktu adalah uang. Tapi buat saya waktu bukan uang. Waktu adalah mimpi, kesempatan meraih mimpi, mengukir mimpi. Membuang waktu sama halnya dengan membuang kesempatan meraih mimpi.

Berbicara tentang mimpi, saya dahulu pernah bermimpi menjadi seorang engineer. Kalo boleh dikatakan, sejak saya baru bisa mengucap kata, ketika saya ditanya tentang cita-cita saya mengatakan “Saya ingin jadi insinyur”. Ya itu saya ucapkan ketika saya berusia 5 tahun. 13 tahun kedepannya saya masih berucap hal yang sama “Saya ingin jadi insiyur”. Begitu besarnya keinginan saya untuk bisa diterima sebagai mahasiswa teknik. Saya benar-benar berusaha keras. Tidak satu waktupun saya sia-siakan. Belajar dan selalu belajar. Bahkan saya tidak tidur selama 2 hari karena terus belajar untuk mempersiapkan diri saya menghadapi ujian. Tuhanpun bekerjasama dengan saya. Saya pun lulus di PTN dan diterima sebagai mahasiswa Teknik. Langkah saya pun bergerak maju untuk mewujudkan mimpi menjadi engineer.

Namun karena satu ketololan saya memutuskan untuk keluar dari fakultas itu. Dan saya pun ada di fakultas psikologi. Hingga saat ini saya menghabiskan seluruh waktu saya di bidang ini. Menghabiskan waktu untuk belajar, menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas, menghabiskan waktu untuk kuliah, dan juga menghabiskan waktu untuk  sekedar melupakan diri bahwa saat ini saya ada disini, di psikologi. Menjadi psikolog bukan cita-cita saya. Bahkan terpikirkan saja tidak. Tapi ya ini. Saya sudah membuat ketololan dan saya harus bertanggung jawab atas semua hal yang saya lakukan. Dan untuk sekedar “excuse” dari kebodohan yang telah saya lakukan, saya pun membuat suatu keyakinan diri bahwa “Psikolog itu hebat dan saya harus bisa menjadi seorang psikolog yang berguna untuk orang sekitar saya.” Sekilas itu rasanya hanya suatu kalimat harapan yang klise.. Tapi ya memang begitulah. Tidak ada keinginan yang lebih konkrit selain itu. Apakah saat ini saya menyesal. Jawabannya iya. Apakah saya selamanya akan terus menyesal. Jawabannya sudah tentu tidak. Hingga saat ini yang terus saya lakukan adalah mencari satu alasan kuat mengapa saya ada di psikologi dan menghabiskan waktu saya mempelajari psikologi. Menurut saya ini adalah hal penting. Apabila saya menemukan alasan ini maka saya yakin saya benar bisa menjalani “mimpi baru” saya ini dan tidak setengah hati dalam mendalaminya.

Saya sedikit curang dalam menjalani “mimpi baru” saya ini. Saya mencuri-curi kesempatan untuk tetap merasakan feel seorang engineer.  Tapi itu hanya sementara saja. Karena otak saya sudah begitu “abstrak” dan “ruwet” dengan psikologi. 

Dan sekarang saya merasa saya membuang semua waktu yang saya miliki. 24 jam dalam 26 bulan terkahir. Dan itu berarti saya telah membuang mimpi saya menjadi seorang engineer. Membuang waktu adalah membuang mimpi.


                                                                                                                                            _dia_

Kamis, 06 Januari 2011

HILANG


Tidak ada sesuatu yang benar-benar mampu untuk mencapai derajat “hilang”, yang mampu tercapai hanyalah perasaan bahwa kita telah meninggalkan sesuatu, walaupun itu sesuatu yang sangat berharga sekalipun untuk kita. Hilang, adalah sesuatu kondisi kita lepas dan bebas dari kurungan penjara perasaan.

Pramudya Wisnu P,
6 Januari 2010 


Hilangnya Masa Remaja, Bagimu..

Sekedar membagi curahan hati, hampir dua tahun lalu. Enjoy. :) 

Sunday, February 10th 2008

Kenapa kita selalu lupa bersyukur atas apa yang kita terima hari ini, yang saya tau dan saya rasa, kita terlalu sering melihat 'ke atas' sehingga kita lupa atas segala kebahagiaan yang tentunya 'mahal' dan belum tentu bisa kita dapat dua kali.

Sore kemarin, waktu saya lagi asyik nonton Insert dan mengunyah Rambutan nan manis, seseorang menelpon saya. Kaget, cause lately saya jarang menerima telepon.

Di seberang, kedengaran seorang cewek dengan logat Sunda yang kental memanggil saya,
"Chrisna? Ini Emma, temen SD, masih inget tidak?"
Kontan saya surprised. Karena sudah lama banget saya tidak ngobrol dengan ini orang kira-kira.. 6-7 taun yang lalu! Dan kalau tidak salah kelas 5 SD dia pindah ke TasikMalaya, setelah itu saya benar-benar lose contact dengan sobat saya itu.

Her voice was so healthy, I guess. Dia bertanya kuliah di mana saya, dan saya jawab di UNPAD. Dia langsung bilang..'Ih hebat, meni gaya..'

Dalam hati saya bilang, 'di mana letak gaya nya? Kampus di jatinangor dan tiap hari harus bertahan dengan segala kesulitan finansial anak kos?!' pikir saya dalam hati.

Selintas saya ingat, Emma adalah temen saya di SD yang otaknya paling pinter di kelas. Dia saingan saya ngedapetin rangking pertama dan teman curhat saya dalam segala kondisi, termasuk partner saya waktu saya ketiban sial kena penyakit demam berdarah untuk pertama kalinya, (cuma saya keluar dari rumah sakit lebih lama).
Terakhir saya liat Emma itu totally a perfect-elementary-school-kid. Lha.. iya. Kulitnya putih, bibirnya tipis, mukanya mirip Suzanna (tentunya waktu paku nya masih nancleb di kepala :p bukan bentuk yang menakutkan), sipit-sipit gimana gitu.. pokonya overall she's a great student. Belum lagi dia pinter dan jadi tempat saya minta bukunya untuk menyalin catetan-catetan yang ketinggalan.
Sampai akhirnya di telepon dia berkata pada saya waktu saya tanya, "Emma apa kabar sekarang?"
"Oh, baik. Sayah mah udah merit, Chris" (tentu dengan logat sunda yang amat kental).
Oh ya? Wow.. saya pikir, yeah I've heard that she got married, but it still makes me pretty shock. Terus dia melanjutkan, "Keluarga saya mah berantakan, Chris."

'God. Is it a real Emma?' Saya pikir.
Tidak menyangka bahwa dia bisa jadi seperti ini.
Well, somebody told me that after she moved, memang keluarganya kacau. Karena, ayah (tiri) nya entah kemana dan ibu nya tidak mampu untuk membiayai anaknya itu. Sampai akhirnya dia dan dua kakak nya itu harus married dan menjalani hidupnya, bekerja untuk membiayai  hidupnya masing-masing.

"Kakak-kakak kamu udah pada nikah belum? Gimana bang Tezar?" dia tanya lagi.
"Oh belum, mereka belum pada nikah." jawab saya.
Dhooonnnggg.. gila, semakin shock saya.

Saya tidak menyangka bahwa di saat segala mimpi-mimpi saya belum saya raih, ada seseorang di luar sana yang used to be really close to me before, yang sekarang udah kehilangan mimpi-mimpinya itu. Waktu SD dulu, saya inget bahwa Emma ingin jadi dokter. Mungkin, kalau berbagai masalah  tidak menimpa keluarganya, dan dengan capability nya, dia bisa aja masuk FK UNPAD, even more. Tapi mimpi-mimpi itu terbang.. dengan segala tanggung jawab rumah tangga yang harus dia emban. Dan saya jadi semakin 'dipermalukan' karena selama ini, saya yang punya kesempatan lebih untuk kuliah, tidak pernah saya jalani dengan sungguh-sungguh, malah saya selalu mengeluh dengan segala yang saya terima. What's wrong being me? Sepertinya setiap masalah yang saya rasakan, dari banyaknya tugas, pacaran, rumah, aahh..! Semua itu tidak ada yang sebanding dengan kesulitan Emma yang seumur saya harus menanggung kesulitan keluarganya dengan married untuk mendapatkan nafkah..

Dan ini makna hilang yang membuat saya sadar, bahwa banyak waktu yang disia-siakan.
Ini benar-benar membuat saya sadar.

Sampai  akhirnya saya bertanya. "Emma udah punya anak?"
"udah.." dia jawab, "Umurnya 2 setengah taun.."

GleekkkK!!! Tenggorokan saya tercekat!
 Oh My God! This sweet girl?

Yang saya inget dulu, Emma suka pake cincin plastik kelinci lucu di jarinya, Emma yang jepitan-jepitan lucu di rambutnya sering bikin saya sirik, Emma yang senyumnya bikin guru-guru memasang cita-cita yang tinggi untuk anak ini. Sekarang dia yang menginjak 19 taun, punya anak yang umurnya 2,5 taun dan suami yang just kerja di BEC katanya..

I just cant speak more.

Di saat kita lagi nakal-nakalnya SMA, di saat kita lagi senang-senangnya mengantri di bioskop buat nonton bareng, di saat kita lagi jadi jurig friendster, atau lagi giat-giatnya nonton pensi dan hangout dengan teman-teman, teman saya yang satu ini sedang bersusah payah mempertahankan hidupnya dan..

Hmm, pregnancy? Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seumur itu melahirkan bayi dan menanggung semua kesulitan jadi seorang ibu. Dan itu benar-benar membuat saya sadar bahwa saya harus bersyukur dan berhenti merasa menderita atas apa yang sekarang terjadi dengan hidup saya. Itu sama sekali berkali-kali lipat jauh lebih kecil dari pada cobaan yang sobat saya derita di luar sana hanya untuk bertahan hidup.

Hilangnya waktu.

"Main ke sini atuh sekali-sekali, Chris. Saya di Bale Endah sekarang.." katanya.
"Oh iya deh nanti kapan-kapan, Emma punya nomor telepon?" jawab saya.
"Aduh gak punya.."

Akhirnya pembicaraan singkat di telepon itu selesai, dan totally, menampar saya  dengan keras.
Apa lagi yang saya butuh sekarang, hah? Haruskah saya selalu merasa kekurangan atas semua kelebihan dan kesempatan yang saya rasakan saat sobat saya tidak rasakan?

Bersyukurlah atas segala yang kita terima, karena semua ini justru membuat kita sadar kalau derita adalah hal yang harus disyukuri untuk kesempurnaan hidup kita. Kita belum merasakan hilangnya..

Waktu yang berharga, dan kesempatan yang berharga pula..

Dan sahabat saya, Emma, menjadi guru terbaik untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.




Chrisna Nuraisyiah,
2008. Edited on 2011.

Sesal

Hari itu, Sabtu 28 Agustus 2010. Awan hitam masih menggelayut manja di pelataran langit. Seakan memahami bahwa terik tak akan cukup indah di siang hari itu. Perempuan itu tertatih menghampiri sesosok tubuh pria yang ditutupi sehelai kain tradisional. Perlahan dibukanya kain yang menutupi bagian wajah pria tua itu. Matanya nanar menatapi wajah pria yang cinta saja tak cukup untuk mendefinisikan perasaannya pada pria yang ia panggil ‘kakek’ itu. Putih, kaku, namun seberkas cahaya dan seulas senyum samar membuat hatinya agak berlega hati. Ia kembali menutup kain itu, entah apakah ia menyadari dengan sungguh hati bahwa itulah kali terakhir ia menatap wajah pria yang telah menemani hidupnya hampir 22 tahun lamanya.
Jam berganti jam, perlahan ia mulai semakin menyadari apa yang terjadi padanya. Tatkala ia menyalakan TV, tak ada sosok yang menemaninya menonton, aktivitas yang biasa mereka lakukan bersama di waktu senggang. Ketika hari Minggu datang, tak ada yang dijemputnya untuk pergi bersama ke gereja. Saat pagi menjelang tak ada lagi sosok yang berdiri di pagar belakang rumah menunggu pedagang sarapan datang. Tak ada, tak ada lagi yang mendengarkan cerita-ceritanya tentang ini dan itu. Tak ada suara batuk yang dulu sering membuatnya merasa terganggu. Tak ada suara tawa yang terkekeh renyah lagi. Tak ada, dan semakin lama semakin banyak “tak ada” yang ia sadari.
Semua sudut ruangan adalah kenangan bersamanya. Setiap jam dalam semua hari dipenuhi adanya ia dan tingkahnya. Dan setiap kali menyadari itu, perlahan sebentuk buliran bening mengalir lembut di pipinya. Buliran bening itu kemudian ditingkahi beribu penyesalannya. Sesal akan setiap kemarahan, kekesalan, atau lakunya yang lain yang mungkin menyakiti pria itu. Sesal itu kemudian dilanjutkan dengan jutaan jika… andai… kalau saja…. Namun ia tahu dan ia berusaha menyadarkan dirinya bahwa ia telah ikhlas akan kepergian pria itu, dan yakin bahwa pria itupun telah mengikhlaskan dan memaafkan kealpaannya.
Di sudut yang lain, keluarga besarnya tak kalah kehilangan. Sama sepertinya, ribuan sesal menyesaki mereka. Sesal akan bakti yang rasanya tak mencukupi walau memang tak akan pernah mumpuni. Sesal karena tak sempat meminta maaf secara langsung. Sesal akan ini dan itu. Dan jutaan andai pun lagi-lagi menyergap. Namun mereka pun sadar bahwa segalanya adalah kehendak-Nya, dan hal yang tersisa bagi mereka adalah ikhlas, doa, dan usaha mengemban segala amanat.
Dan seisi rumah itu sesungguhnya disesaki oleh rasa kehilangan, yang juga menyempilkan rasa sesal.
Mungkin itulah sebuah makna kehilangan. Kehilangan yang seringkali diikuti oleh penyesalan. Hal yang membuat perempuan itu berpikir untuk melakukan hal-hal yang ingin dan harus dia lakukan sebelum dia kehilangan lagi orang-orang yang dicintai. Walau menyadari tak pernah ada yang sempurna, minimal perempuan itu ingin sering-sering berkata maaf dan ingin sering-sering menyisipkan kalimat bahwa dia sungguh mencintai mereka dan kalian semua yang senantiasa mengisi hari-harinya selama ini.
Agustus 2010
Wini Intan

Rabu, 05 Januari 2011

Kehilangan

Hm..rasanya sulit bagi saya untuk menceritakan pengalaman saya mengenai kehilangan. Kata mama saya, saya ini orangnya ceroboh. Selalu gampang kehilangan barang. Dari kecil sudah begitu. Tapi, ada satu hal yang membuat saya nggak akan memaafkan diri saya sendiri atas kehilangan itu. Ini lebih berat daripada kehilangan barang atau kehilangan pacar sekalipun. Saya kehilangan kepercayaan orang lain. Saya pikir saya tidak apa-apa, tapi nyatanya saya masih sering berpikir saya ini sampah kalau ingat hal tersebut.

Ini nggak semudah yang saya bayangkan. Bagaimana tatapan mata mereka ketika saya mengakui kesalahan. Saya mencoba mencari sedikit kepercayaan dari masing-masing tatap mata itu. Tapi…terlambat. Kesalahan saya fatal. Saya kehilangan kepercayaan mereka. Sampai hari ini saya masih berharap saya bisa kembali ke masa lalu. Saya akan hindari kesalahan itu. Saya takut (ya, saya mengakui saya takut) kehilangan kepercayaan mereka pada saya. Kehilangan hal itu seperti saya ini adalah sampah. Dibuang, diabaikan dan dijauhi. Saya kecewa. Marah. Dan jijik. Pada diri saya sendiri.

Dari hal ini saya belajar, kata maaf itu mahal. Tidak mudah mendapatkan maaf dari orang lain. Mungkin mereka memaafkan, tapi mereka tidak lupa akan kesalahan fatal yang saya buat. Dan saya memahami bahwa saya akan merasa kepercayaan itu penting ketika hal itu telah hilang dari saya.

Untuk kalian,
Setelah kerja keras kita selama satu tahun kemarin,
Terima kasih kalian dulu pernah percaya pada saya.
Terima kasih atas kesempatan yang kalian berikan pada saya.
Terima kasih atas dukungan yang kalian berikan.
Maafkan saya yang telah mengecewakan kalian di akhir.
Maafkan atas kesalahan yang saya perbuat, nama tim kita tercoreng.
Maafkan atas kesalahan yang (ternyata) tidak bisa saya perbaiki.
Maafkan……tidak akan pernah cukup kata maaf itu.
Maafkan. Terima kasih.

*Tuhan, bisakah saya dapat kesempatan  sekali lagi?*

~Liris Kinasih Paramita
www.middleday.blogspot.com
Umur saya baru sepuluh tahun saat kakek saya meninggalkan dunia untuk selamanya. Saat meninggal, engkong, begitu biasa saya memanggilnya (seharusnya mbah kakung, tapi gara2 saya sepupu saya yang memanggilnya engkong, semua jadi tertular memanggil beliau demikian), baru saja 11 hari berumur 61 tahun.

Beliau berumur 50 tahun saat melantunkan adzan ke telinga saya.

Engkong meninggal karena kanker. Kanker paru-paru lebih tepatnya. Penyakit yang menggerogoti tubuhnya sampai kurus kering tak berdaya, hanya dalam waktu satu setengah tahun semenjak dokter mendiagnosa engkong. Bukan hanya satu dokter, banyak dokter yang kami datangi. Dan semua menjatuhkan vonis yang sama. Engkong sakit. Dan bukan sakit biasa yang akan sembuh beberapa hari setelah minum obat generik dari apotik.

Engkong akan, dan harus bertempur. Dan kami hanya bisa disini dan mendukungnya.

Saya yang saat itu baru berumur 10 tahun, hanya bisa mendengar bisik-bisik tentang engkong. Awalnya semua menyangka hanya tumor biasa, hilang hanya dengan operasi. Setelah prosedur selesai, semua bernafas lega. Kemudian timbul lagi. Kali ini lebih parah. Berkali-kali hingga keluarlah kata-kata itu dari dokter. Kanker. Yang menakutkan karena hanya berarti satu hal: sebentar lagi engkong akan pergi. Dan tidak akan pernah kembali.

Mulailah hari-hari itu. Hari dimana engkong harus bolak-balik kemoterapi, ditambah berbagai macam obat yang harus engkong telan setiap harinya. Pengobatan medis, alternatif, semua pernah engkong lakukan. Saya masih ingat wajah engkong saat tubuhnya mulai bereaksi terhadap obat-obatan, saat tidak ada satu helai rambutpun di tubuhnya. Semuanya rontok, saking kerasnya obat-obatan yang harus ditelan setiap harinya. Terus begitu setiap hari.

Lalu semua mulai jelas. Engkong semakin kurus, kulitnya semakin keriput, semakin sulit bernafas, dan sulit bergerak. Obat-obatan tidak lagi bisa membantunya. Teman setianya adalah kursi roda dan tabung oksigen. Engkong menikmati udara-udara terakhir yang bisa ia hirup. Semuanya terjadi di depan mata kami. Semuanya. Jelas, bahkan di mataku yang baru berumur sepuluh tahun.

Dan berkumpullah kami semua, berusaha tegar menghadapi hari itu. Hari beliau akan pergi.

Pikiran naif saya waktu itu berkata, engkong pasti akan sembuh. Engkong akan bisa berjalan-jalan lagi, makan cah kangkung favorit beliau lagi di Pagoda, atau bahkan menjemput saya pulang dari sekolah.

Tapi ternyata hari itu datang, dan mimpi-mimpi saya sirna.

Katanya, engkong tersenyum dalam tidur panjangnya. Bengkak di tangannya hilang, hanya saja sekarang tubuhnya dingin. Jauh lebih dingin dari saat terakhir saya menemaninya dan menyentuhnya tangannya. Saya tidak sempat mengucapkan selamat tinggal, atau betapa hari-hari saya akan terasa berbeda tanpanya. Kalau akan ada bagian dari diri saya yang hilang saat beliau pergi.

Kalau saat beliau pergi, akan ada seseorang yang kehilangan sebagian dari jiwanya, sosok yang ia kagumi dari dalam hati, tempatnya mengadu, tempatnya berkeluh kesah.

Ibu. Anak sulung kesayangannya.

Dan saya adalah anak sulung ibu saya. Pengagum terbesar ibu.

Jadi saat saya melihat saat itu, saat engkong belum meninggal, ibu yang duduk di tepian tempat tidurnya dan menangis, mendengar kabar kalau engkong mulai tidak sadar, hati saya hancur.

Karena saat engkong pergi, ibu saya hancur. Dan kalau ibu hancur, saya pun hancur.

Dan saya yang berumur sepuluh tahun hanya dapat menyaksikan, terdiam dan berdoa.

Hari itu tiba, dan engkong akhirnya pergi dengan tenang. Meninggalkan saya, ibu, kami. Beliau mungkin tidak akan bisa lagi terlihat, tersentuh. Tapi beliau tidak akan pernah hilang dari hidup kami.

Satu kenangan saya dengan engkong adalah ketika saya, salah seorang sepupu saya, dan engkong naik sepeda pagi-pagi di pangandaran untuk melihat matahari terbit. Kami naik sepeda bertiga, sepupu saya didepan, saya dibonceng di belakang. Engkong yang mengayuh sepeda.

Hari itu kami tidak melihat matahari terbit, karena ternyata engkong tidak tahu tempat yang tepat untuk melihatnya. Kami hanya berkeliling. Tapi kenangan itu, dan kenangan yang lain, yang jelas maupun yang samar, tidak akan pernah hilang dari diri saya. Saya bawa sampai kemanapun.

Engkong tidak pernah melihat saya lulus sekolah, tidak akan pernah melihat saya nantinya menikah. Tapi engkong akan selalu ada.

Dan tidak akan hilang.

Dan saya akan jadi satu-satunya cucu perempuan yang mengenal beliau luar dalam, sejak saya dilahirkan.




Chika Anindyah Hidayat
“Untuk ibu. Cause if you’re hurting, it’s aching for me too….”

Priyanto Hasbullah (1954-2010)

Bapak  Bilang, "De Pri Duluan, Berguguran Nih Saudara Bapak, Urus Dirimu Sendiri, Jaga Semuanya, Kalau Ntar Bapak Juga Ikut De Pri..."
Pakde Tertua Memberi Wejangan, “De Pri Kan Adik Pakde, Tapi Dah Pergi Duluan.Kamu Jg Harus Siap. Kmu Kan Laki. Kalau Bapakmu Ndak Ada, Kan Kamu Yang Jaga Ibu Sama Mbak Shinta."
Aku Dulu Janji Mengunjungi Pakde Januari 2011. "Kangen Ngobrol Karo Koe, Nang..." Katanya. Belum Tepati, Pakde Sudah Pergi Duluan. Maaf Ya Pakde.
Pakde Semasa Sehat Adalah Seorang Guru Yang Ceria, Dicintai Para Muridnya.
Pak Guru Yang Senantiasa Membuka Pintu Rumahnya Demi Melayani Anak Didiknya Yang Bertanya Atau Sekadar Berbagi Cerita Dan Kue.
Pak Guru Yang Jadi Pendengar Yang Baik. Ayom Anak Didik. Bangga Akan "Njawa"-nya.
"Dua Kali Menikah, Dua Kali Kehilangan Orang Yang Ia Sayangi, Tak Buat Pak Guru Kehilangan Semangat. Dia Bapak Perkasa.
Bapak Perkasa Yang Memanjakan Anak Tunggalnya. Katanya, "Satu Hal Yg Tidak Bapak Berikan Ke Teman2 Adalah Usapan Di Kepala Saat Mengajar.”
Bapak Perkasa Yang Pulang Malam. Dan SELALU Membawa Buah Tangan.
Bapak Perkasa Yang SELALU Bertanya, "Nduk, Hari Ini Mau Makan Apa? Nanti Bapak Belikan."
Saat Lumpuh, Semangat Pakde Layu.
Anak Satu-satunya Melupakan Semuanya, Kebutuhan Pribadi Dan Sosial-nya Ia Lupakan. Ia Curahkan Semuanya Untuk Melayani Ayahnya.
Dan Sang Anak Manja Berubah Menjadi Anak Perkasa, Layaknya Ayahnya Dulu. Melayani, Mencari Makan, Menyuapi, Hingga Urusan Bersih-Bersih Badan. Sang Anak Sudah Buta Akan Wujud Dan Aroma Kotoran.
Orang-orang Mengeluh. Kakak, Bahkan Kadang Anaknya. Tapi, Sang Anak Yang Telah Lupa Daratan Karena CintaKepada Ayahnya Tetap Bertahan.
6 Tahun Lebih Pakde Terlihat Seperti Seorang Pecundang Di Mata Orang Lain.
Namun Pada Akhirnya, Aku, Darahku, Semuanya Tahu, Pakde Adalah Pak Guru, Bapak Perkasa, Pecundang Yang Dicintai.

ST '07